Disuatu
hari, saat hujan turun dengan derasnya, di saung dekat kantin sekolah. Windi
yang sedaritadi hanya duduk, dengan tatapan kosong, menunggu seseorang datang
menemuinya. Sudah sekitar 2 jam ia duduk santai disaung itu hingga hujanpun
berhenti.
Kemudian
ada sosok pria yang datang menghampirinya dan bertanya, “hei, Win, masih ingin
menunggu?” ucap Farel salah satu teman Windi yang sudah dianggap sebagai
sahabat Windi itu telah berhasil membuat lamunanya terhenti.
“mungkin..” hanya kata itu yang keluar
dari mulut Windi.
Farel
menatapnya dengan tatapan sedih, ingin sekali ia membantunya dari keterpurukan
Windi belakangan ini. Menunggu seseorang yang kerap kali berjanji kepadanya
untuk menemuinya, namun sampai saat ini, pria yang ditunggunya belum juga
menampakan batang hidungnya.
Farel
masih berpikir keras, untuk mengeluarkan sebuah kalimat ajakkan untuk Windi,
supaya Windi segera melupakan janji kosong pria itu.
“hmmm, maukah kau menemaniku ketoko buku
sekarang? Aku sedang butuh buku-buku ilmu geologis untuk pelajaran Bu Ida”
Lama
sekali Farel menunggu jawaban Windi. Nampaknya Windi mulai bengong lagi. “Win!
Kau mendengarku?” tegasnya karna sudah tidak sabar.
“kau cari orang lain saja, aku sedang
tidak mood jalan-jalan.” Jawab Windi
ketus.
Farel
sudah tidak sabar menanggapi sifat Windi yang akhir-akhir ini berubah menjadi
tertutup dan gampang marah. Akhirnya ia melontarkan segala amarahnya kepada
Windi saat itu juga.
“Windi, kenapa sih kau masih aja percaya
sama pria yang sudah berkali-kali membuatmu menangis? Kenapa kau masih ingin
menunggunya, sedangkan orang yang kau tunggu itu tidak akan pernah datang
menemuimu?!” tegas Farel kepada Windi.
“aku mencintainya, Farel! Aku rela nunggu
dia sampai kapanpun, asal aku bisa berbicara dengannya! Kau mengertiku,
bukan?!” emosi Windi mulai menaik,
lantas itu tidak meluluhkan hati Farel.
“dia itu pembohong besar, Windi! Dia
telah membohongimu! Kau itu hanya dijadikan pelarian saja! Dia juga tidak suka
padamu. Aku tau hal ini dari temannya. Aku sudah bicarakan padanya, untuk tidak
mengganggumu lagi. Tapi nyatanya sekarang masih seperti itu.”
Tanpa
sadar perkataan itu telah menyayat hati Windi, sehingga air mata sudah
membanjiri pipinya. Windi hanya menangis, ia tak mampu berbicara.
Farel yang
sedaritadi hanya mengusap-ngusap kepalanyapun angkat bicara. “Win, buka mata
hati kamu. Lihat sekelilingmu. Disana ada orang yang sangat peduli terhadapmu,
dia sangat mengertimu, dan.. dan dia juga mencintaimu, Windi. Dia bisa
menjagamu, dan dia bisa menghapus air matamu.. sekarang..” jelasnya kepada
Windi dengan nada halus, sambil mengusap air mata dipipinya yang tak
henti-hentinya keluar.
Windipun langsung
menatap Farel. Dengan mata yang sembab ia berusaha untuk melihat wajah Farel
dan berkata kepadanya “mengapa kau tak pernah bilang kepadaku?”
“aku takut menyakiti hatimu, aku tahu
betul perasaanmu, Windi”
Windipun
langsung menoleh kearah berlawanan, dan menjauhinya.
Tetapi,
Farel tetap mengikuti gerak-geriknya. Dan sekarang mereka kembali berdekatan.
“aku mencintaimu, Windi. Sangat mencintaimu. Aku tidak mau kehilanganmu”. Lalu,
ia menuduhkan kepalanya dibahu Windi. Dan Windipun menoleh dengan alunan
lembut.
“aku akan berusaha mencintaimu, seperti
kau mencintaiku, Farel” lalu kemudian mereka berpelukan.
Cinta
tidak selalu didampingi dengan pengorbanan. Kita harus pandai-pandai melihat
situasi. Jangan mudah terjebak dalam situasi.
Created : Ulfa Fauzia
No comments:
Post a Comment